Pada awalnya, film ini tampak seperti film remaja pada umumnya, yang manis dengan sikap posesif sewajarnya. Namun ternyata film ini jauh dari ekspektasi saya sebagaipenikmat. Aura film ini mencekam, meskipun tidakseutuhnya. Permainan adegan yang ditawarkan mengaduk-aduk emosi penonton naik dan turun.
Kedekatan Yudhis — si anak baru — yang diperankan oleh Adipati Dolken dan Lala, yang diperankan oleh Putri Marino,terbangun cukup cepat. Bermula dari kejadian dihukumbersama di lapangan dengan tali sepatu yang saling terikat, mereka kencan, lalu resmi menjadi sepasang kekasih. Ah, singkat sekali. Walau begitu, saya rasa penonton dapatmengikuti dan menikmati kehidupan romansa Yudhis dan Lala. Perasaan membungah muncul Ketika menyaksikandrama percintaan mereka. Musik latarnya, yakni No One Can Stop Us, juga sangat membantu menggambarkan bebungaanyang sedang mekar di antara sejoli tersebut.
Salah satu kejadian yang cukup berkesan adalah saat Yudhismenemani Lala latihan. Sikap demikian begitu berarti bagiseorang atlet yang memiliki waktu nongkrong terbatas. Di sini, Yudhis berperan sebagai pacar yang baik. Jika ada yang belum menonton, sedikit informasi, Lala adalah atlet loncatindah dan dilatih oleh ayahnya sendiri. Ketika Yudhis dalamtahap pendekatan, ia berujar seperti ini ke Lala yang tampakjenuh dan lelah, “Gimana kalau lo ngelakuin hal yang lo seneng dulu? Gue temenin.”
Asumsiku, Lala akan mengutarakan keinginan sebagaimanaremaja pada umumnya: jalan-jalan berdua, menonton bioskop, atau apa saja yang selama ini jarang ia lakukan karenadisibukkan dengan latihan. Ternyata, Lala malah mengajakYudhis meloncat ke kolam. Dari sini dapat penontonsimpulkan bahwa Lala menikmati kegiatan loncat indah. Aih, aku suka sekali pengambilan gambar dalam airnya! Biru, biru, senyap, dan ketenangan. Oh my, indah sekali.
Akan tetapi, honeymoon phase mereka tak bertahan lama. Mulailah penonton diperkenalkan dengan sikap cemburuYudhis yang berlebihan. Posesif. Penuh ancaman. Mengerikan. Aura manis berganti pahit. Aku kutip satu bagiancemburunya, ya.
“Aku rela, lho, geser les bimbel aku ke malam demi kamu.”
“Aku, kan, nggak ada minta gitu ke kamu.”
“Aku udah ngasih semuanya buat hubungan kita(memalingkan wajah), ya walaupun ternyata kamu nggak, sih.”
Beginilah sikap abuser yang ditampilkan dalam film tersebut, memainkan perasaan korban. Yang terpenting posisi di ujungtanduk harus tertutupi oleh sikap pelaku yang memojokkankorban. Motifnya agar korban merasa bersalah dan bertahandengan pelaku. Strategi ini berhasil, meskipun Lala sebenarnya takut pada Yudhis. Suara Lala yang dilirihkan tiapia membela diri di hadapan Yudhis menggambarkan ketakutanitu. Barangkali Lala ingin lepas dari jeratan Yudhis, tetapi iatidak siap akan akibat yang diterimanya kelak. Tak mungkinhubungan macam ini bertahan dengan alasan sesepele cinta, sih, menurutku. Pasti ada faktor yang lebih kuat daripada itu. Kalau kata sebagian orang, rata-rata korban bertahan karenapunya keyakinan kuat bahwa sang pelaku akan berubah suatusaat nanti. Atas nama cinta. Ya. Keyakinan yang aneh, tetapinyata adanya.
Ketegangan dalam film ini cukup terasa. Bukan film yang ringan ditonton sebagaimana dugaanku di awal. Adeganpaling creepy adalah ketika Yudhis memata-matai Lala di rumahnya, menggedor pintu rumah, dan menerobos masuk kekamar Lala. Ketika ini, Lala digambarkan sebagai sosok yang kuat karena berhasil melawan Yudhis.
Menuju penutupan, cerita difokuskan pada kehidupan Lala. Penonton hanya bisa menduga-duga dengan kelanjutan hidupYudhis. Tidak seru bila dibeberkan semua, bukan? Lagipulapesan yang diusung sukses tersampaikan. Penonton dapatmenangkap seperti apa hubungan yang tidak sehat itu dan bagaimana cara menyikapinya. Pemilihan lagu latar SampaiJadi Debu dirasa kurang tepat karena malah membangunsuasana dan imajinasi cerita yang lain.
Membincangkan karakter, aku terpukau pada Cut Mini. Kali terakhir aku menonton akting Cut Mini ialah di film Athirah di mana ia digambarkan begitu kalem dan sabar. Di film ini, dia berubah seratus delapan puluh derajat. You deserve an applause, lady! Aku juga suka karakter Yudhisyang diperankan oleh Adipati Dolken. Tidak kusangka bisaseposesif itu dirinya. He already won my heart at PerahuKertas for being an artist and Kugy’s Keenan. Eh, karakterKeenan runtuh seruntuh-runtuhnya di sini (ya iyalah, ya). Takapa, aku tetap kagum! Karakter Lala juga diperankan sangatbaik oleh Putri Marino.
Film ini cocok dijadikan edukasi kepada kalangan remaja dan dewasa sebab korban abusive relationship tidak mengenalusia. Selain itu, film ini tidak hanya menyorot sisi hubungankekerasan saja, tetapi juga pentingnya penghargaan atasusaha. Para orang tua juga mesti menonton ini sebagai bahanpembelajaran.
Komentar
Posting Komentar